Asal Mula Kesultanan Sambas

1. Perjalanan Sejarah Sambas Sejak tanggal Juli 1999, kota Sambas telah kembali bangkit menjadi Ibukota Kabupaten Sambas. Sebelumnya, kota Sambas hanya menjadi ibukota Kecamatan Sambas, salah satu kecamatan dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Sambas yang beribukota di Singkawang (sejak tahun 1957-1999). Kalau kita lihat kebelakang, sejarah Kesultanan Sambas, adalah seubah kerajaan kesultanan besar di Kalimantan maupun di Nusantara Indonesia. Kesultanan Sambas, terkenal besar sejak Sultan Sambas yang pertama, Sultan Muhammad Syafiuddin (1631 – 1668). Kerajyaan Kesultanan Sambas telah membesarkan nama negeri Sambas, sampai pada Sultan Sambas ke-15 yaitu Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931 – 1943). Kerajaan Sambas sirna ketika Sultan ke-15 ini wafat karena ditangkap dan dibunuh oleh tentara penduduk Jepang tahun 1943. Kekejaman fasisme Jepang meruntuhkan kejayaan Sambas. Nama dan kejayaan Sambas sesungguhnya tidak hanya dimulai dari Sultan Muhammad Syafiuddin (1631 – 1668). Sejak abad ke-13 masehi sudah ada kekuasaan raja-raja Sambas. Bemula dari kedatangan prajurit Majapahit di Paloh. Kemudian pusat kerajaan Sambas berpindah ke Kota Lama di Teluk Keramat. Dari Lama berpindah ke Kota Bangun di sungai Sambas Besar. Dari Kota Bangun pindah lagi ke Kota Bandir dan kemudian pindah lagi ke Lubuk Madung. Konon menurut cerita, rombongan Raden Sulaiman pernah singgah di Tebas. Mereka sempat menebas daerah itu tetapi kemudian ditinggalkan. Dinamakanlah daerah itu Tebas. Barulah pada masa Sultan Sambas ke-2 yaitu Raden Bima gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668 -1708) pusat Kesultanan Sambas dibangun di Muara Ulakan, di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil, sungai Subah dan sungai Teberau. Sejak tahun 1668 Kota Sambas mejadi ibukota Kesultanan Sambas. Kejayaan Kesultanan Sambas masa itu meliputi daerah Pemangkat, Singkawang, Benkayang dan daerah Sambas sendiri, yang kaya akan emas. Sejak jaman pendudukan Jepang dan NICA (1942 – 1950), integritas kerajaan Sambas telah sirna karena terlibat engan pergolokan Perang Dunia II. Ketika daerah Sambas atau Kalimantan Barat kembali bernaung dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950, dan dibentuknya Pemerintahan Administratif Kabupaten Sambas, rakyat Sambas sesungguhnya menuntut agar kota Sambas tetap menjadi ibukota Kabupaten Sambas. Keinginan rakyat Sambas itu adalah sebagai upaya melanjutkan kembali kejayaan Negeri Sambas sejak pemerintahan para Sultan Sambas dari tahun 1631 – 1943. Alhamdulillah, keinginan rakyat Sambas menjadikan kota Sambas sebagai ibukota Kabupaten Sambas terwujud juga sejak tanggal 15 Juli 1999. Pemerintahan Kabupaten Sambas berkedudukan di kota Sambas. 2. Asal Mula Nama Sambas Kesultanan Sambas sebuah negeri yang terbesar dengan luas 20.940 Km2 (Brunei 5.765 Km2). Pada tahun 1915 berpenduduk 130.000 jiwa, terdiri dari : 100 orang Eropa, 26.000 orang Dayak, 67.000 orang Melayu, Jawa Bugis. 30.000 orang Cina, 270 orang Arab dan Timur Asing lainnya. Pada tahun 1998, wilayah bekas kesultanan Sambas ini berpenduduk 895.900 jiwa, merupakan salah satu kerajaan tertua dan kerajaan Islam yang besar di Kalimantan Barat. Juga pun pernah disebut Sambas “Serambi Mekah”. Apakah sesungguhnya arti dari kata “Sambas” itu. Mengapa kesultanan dan daerah itu disebut “Sambas”? Kesultanan Islam Sambas bermula pada pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin I yang dinobatkan oleh rakyat Sambas di Lubuk Madung pada hari Senin 10 Zulhijah tahun 1040 H bersamaan dengan tanggal 9 Juli 1631 M. Nama Sambas sudah dipergunakan jauh sebelum dinobatkannya Sultan Syafiuddin I. Pada masa kekuasaan kerajaan Majapahit dibawah Raja Hayam Waruk dan Mahapahit Gajah Mada, kesultanan Sambas dissebut sebagai salah satu kerajaan di Borneo yang berada dibawah kekuasaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dalam tulisan Empu Prapanca dalam bukunya yang masyhur “Negara Kertagama” yang ditulisnya pada tahun 1365. Didalam pupuh XII dari XIV buku Negara Kertagama disebutkan daerah-daerah atau kerajaan di Nusantara yang berada dibawah kekuasaan Majapahit, diantaranya adalah Sambas. Pupuh XII buku Negara Kertagama menyebutkan: “Lwas dengan Samudra serta Lamuri Batam, Lampung dan juga Barus itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara dipulau Tanjungpura : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, lawai ikut tersebut. Pupuh XIV : “Kandadangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan Sedu, Berune(ng), Kalka, Seludung, solot dan juga pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei, Matano tetap yang terpnting dipulau Tanjungpura.” Pabila buku Negarakertagama (1365) Majapahit telah menyebut kata “Sambas” kemungkinan kata ini berasal dari bahasa Jawa (kuno) “samba” berarti bersukaria atau menari. Dalam kamus bahasa Indonesia Samba berarti bersukaria. Dalam pewayangan nama Samba adalah putera Arjuna. Beberapa nama Sultan Sambas memakai nama pewayangan seperti Raden Bima, Raden Semar, Raden Samba. Dapat diartikan pula kata Sambas sama dengan Samba, artinya Sambas kerajaan yang makmur dan sentosa. Namun sampai sekarang belum diketemukan buku atau tulisan yang menjelaskan apa arti kata “Sambas” itu sesungguhnya. Beberapa pendapat tentang arti kata Sambas terdapat berbagai alasan dan pengertian. Penulis buku “Asal – Usul Sambas” H. Urai Jalaludin Yusuf Dato’ Ronggo menjelaskan, menurut cerita dongeng rakyat bahwa nama Sambas berasal dari tiga orang sahabat, seorang diantaranya bernama Abbas. Bersama mereka terdapat pula seorang Cina. Tiga dalam bahasa Cina ialah “Sam”, maksudnya “Sambas” atau kerja sama dengan Abbas. Lama-kelamaan terjadilah nama Sambas. Cerita lain disebutkan oleh Dato’ Ronggo tentang kerajaan “Orang Kebenaran” dari Paloh. Dua orang tokoh bernama Syamsudin dan Saribas. Sayamsudin kawin dengan orang halus atau Orang Kebenaran, tetapi kemudian menghilang dan menjadi orang halus. Namun juwa Sam selalu mengikuti sahabatnya bernama Saribas (Dayak). Dimana ada Sam disitu ada Saribas. Ketika mereka berada di Muara Ulakan, mereka berjanji bahwa diantara Samsudin (Melayu) dan Saribas (Dayak) tidak akan pernah ada pertikaian. Perjanjian persahabatan mereka di simpang Tiga Muara Ulakan ditandai dengan membuang batu dari Gunung Sibatu, di persimpangan Muara Sungai Teberau dan Subah. Mereka bersumpah : “Jika timbul batu itu, barulah kami orang Dayak melawan orang Laut (Melayu)”. Ditempat batu itu dibuat, air di sekitarnya memutar, seolah pertanda “awal perjanjian sudah dibuat, janji jangan dilanggar”. Sampai kini air dipertemukan ketiga sungai itu tetap berputar, tempat itu dinamakan Muara Ulakan. Persahabatan dan sumpah setia antara Samsudin dan Saribas ini dikekalkan menjadi nama tempat disebut Sambas. Demikian cerita Dongeng. Berbeda dengan cerita dongeng itu, M. Zaini Ar dan Achmad D. Dalam bukunya “Perkembangan Kabupaten Sambas dan Sejarahnya”, menyebutkan bahwa nama Sambas itu berasal dari bahasa Cina dan Melayu digabung jadi satu. Sam dalam bahasa Cina berarti tigas dan Bas dalam bahasa Melayu bearti Suku atau Etnis. Bahawa daerah Sambas terdiri dari tiga suku yaitu Melayu, Dayak dan Cina disebut “ Sambas”. Ada pula yang menafsirkan nama Sambas berasal dari mimpi Raden Sulaiman, Sultan Sambas I bahwa kota yang akan dibangunnya diberi nama huruf awal “syin” (S) pada awal dan akhirnya sehingga menjadilah Kata Sambas. Penafsiran lain mengatakan nama Sambas dari Surah As Syam dan Basmalah. As Syam berarti Matahari, basmalah berarti dengan nama Allah, terjadilah kata Sambas. Berbagai arti kata diatas rasanya belum merupakan arti yang tepat. Jika didasarkan pada bahasa Cina, etnis Cina baru datang di Sambas pada pertengahan abad 18. Manakala penafsiran berdasarkan bahasa Arab/Islam, nama itu masih terlalu muda karena kerajaan Islam Sambas berdiri tahun 1631. Nama yang didasarkan pada cerita dan legenda, masih sangat sulit diterima. Nama Sambas sudah disebut ketika Ratu Sepudak menandatangani perjanjian dengan VOC tanggal 1 Oktober 1609. Dan kerajaan Majapahit telah menyebutkan nama Sambas sejak abat ke-14. Mantan ketua Majelis Kesultanan Sambas, Raden Muchsin Panji Anom Pangeran Temenggung Jaya Kusuma, dalam laporannya tentang “Kontrak dan Riwayat Raja-Raja Sambas” tanggal 5 Januari 1951 menyebutkan tentang nama kesultanan Sambas sebagai berikut : “Menurut riwayat yang tercantum di lembaran kitab sejarah kerajaan bahwa raja-raja di Kerajaan Sambas berasal-usul dari pancaran negeri tiga serangkai yakni Brunei, Sukadana dan Sambas di masa pemerintahan Majapahit.” Mendasarkan arti kata Sambas sebagai tiga serangkai asal-usul kerajaan Sambas dari tiga kerajaan Brunei, Sukadana, dan Sambas, rasanya lebih tepat. Dapat pula ditafsirkan bahwa cikal-bakal keturunan kerajaan Sambas berasal dari keturunan Majapahit, Brunei dan Sukadana/Matan adalah sesuai dengan sejarah asal-usul kerajaan Islam Sambas. Mungkinkah dapat disimpulkan bahwa nama Sambas diartikan sebagai tiga serangkai sejarah kerajaan Sambas yaitu Brunei + Sukadana + Sambas. Atau asal-usul Sambas dari tiga serangkai keturunan : Majapahit + Brunei + Sukadana/Matan adalah Sambas. Pengertian terakhir ini rasanya lebih tepat sesuai dengan riwayat keturunan kerajaan Sambas berasal dari keturuan Raja Sepudak dari Majapahit, Raja Tengah dari Brunei dan Sultan Sukadana/Matan Sultan Muhammad Syafiuddin. Asal mula nama Sambas berasal dari kata Sambat yang artinya bersambung menjadi satu yang dikaitkan dengan keadaan sungai Sambas Kecil dan Sungai Sambas Besar yang saling menghubungkan bandar dan desa menjadi Satu. Kata Sambas dapat pula diartikan dari kata Sambat yang artinya berangkaian, bersambung menjadi satu yaitu rangkaian sungai-sungai Sambas Kecil, Suat dan Teberau. 3. Purba Sejarah Sambas Riwayat kerajaan dan para Sultan Sambas berdasarkan catatan tertulis dan benda peninggalan secara jelas dimulai pada awal berdirinya kesultanan Islam Sambas pada awal abad ke-17. Sumber tertulis utama tentang kesultanan Sambas, adalah tulisan Sultan Muhammad Syafiuddin II berjudul “Silsilah Raja-raja Sambas” yang ditulis sendiri oleh Sultan Sambas ke-13 itu pada bulan Desember 1903. Sumber tertulis utama dari negara Brunei Darussalam adalah kitab “silsilah Raja-raja Brunei”. Sumber sejarah kesultanan Sambas berkaitan dengan kerajaan Brunei telah ditertibkan dalam tiga buah buku oleh Pusat Sejarah Brunei. Ketiga buku tersebut adalah : 1) “Tarsilah Brunei, Sejarah Awal dan Perkembangan Islam” (tahun 1990) 2) “Raja Tengah, Sultan Serawak Pertama dan Terakhir “ (tahun 1995) 3) “Tarsilah Brunei, Zaman Kegemilangan dan Kemasyhuran” (tahun 1997) Di dalam sejarah Raja-raja Brunei maupun silsilah Raja-raja Sambas, riwayat kesultanan Sambas dijelaskan mulai masa Raja Tengah, Raja Serawak yang selama 40 tahun berada di Sukadana dan Sambas (16000 – 1641), Raden Sulaiman adalah Putera Raja Tengah dari perkawinan Raja Tangah dengan Puteri Surya Kesuma, puteri Sultan Matan/Sukadana, Sultan Muhammad Syafiuddin. Kemudian Raden Sulaiman adalah Sultan Sambas pertama: 1631 – 1668. Namun sejarah Sambas sudah bermula jauh sebelum Raden Sulaiman berkuasa. Walaupun tidak didapatkan catatan tertulis tentang purba sejarah Sambas, dari catatan kerajaan Majapahit dan kronik-kronikKaisar Cina disebutkan bahwa Sambas sudah ada sejajar dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan, Jawa, Sumatera, Malaka dan Brunei serta Kekaisaran Cina pada abat ke-13 dan ke-14 Maka purba sejarah Sambas dan Kalimantan masih diliputi kabut ketidakpastian karena tidak banyak data da informasi yang diperoleh. Namun daerah bahagian Barat Kalimantan telah banyak dikenal oleh para pelancong dan pedagang asing dari Cina, India dan Arab sejak abad ke-10. Drs. Sudarto dan Adisidharto dalam manuskrip bukunya tentang “Sejarah Kalimantan Barat”, tahun 1997, mencoba mengangkat riwayat berkaitan dengan purba sejarah Kerajaan Sambas. “Daerah Sambas, Sukadana, Tanjungpura dan Karimata dalam buku Ptolemaeos Dias “Geographia” (abad ke-2) ditafsirkan oleh Van der Meulen bahwa: “Tanjung Satyroi tidak mungkin lain daripada gugusan pulau-pulau Karimata yang berbatu itu, karena tak ada bagian yang patut disebut sebagai tanjung di daerah yang pantainya berlumpur itu. Dari catatan ptolemaeos pada awal abad tahun masehi itu, telah diketahui bahwa daerah pantai barat Kalimantan, (Sambas, Mempawah, Sukadana, Tanjungpura) sudah dikenal sebagai daerah berpenghuni. Selanjutnya Van der Meulen menduga bahwa dalam masa Ptolemaeos, nama Javadwipa mungkin sekali dipakai untuk menyebut bahagian lain dari Kalimantan. Jika interpretasi mengenai Javadwipa itu tepat, maka Kota Argyre (=Kota Perak) seperti disebut oleh Ptolemaeus, tentulah terletak dibagian ii, barangkali saja disekitar Kumai atau “Kotawaringin”. Atau mungkin saja daerah itu adalah Matan, Landak atau Sambas karena terkenal sebagai daerah penghasil emas dan intan. Kalu Swarna Dwipa (pulau emas) diperkirakan sebagai pulau emas, mungkin juga Sambas sudah termasuk sebagai daerah penghasil emas.” Kronik dinasti Sung (960 – 1279) adalah salah satu catatan tua tentang bagian barat Kalimantan. Kronik Cina menyebut “Puni” sebagai Borneo Barat” daerah Kalimantan Barat.” Disebutkan : “negeri ini terletak di lautan barat daya, jaraknya dari Jawa 45 hari, dari San Bot Sai (Palembang) 40 hari dari Champa 30 hari, jika angin baik.” Atlas sejarah Muhammad Yamin menyebutkan pula daerah bagian barat Kalimantan dengan sebutan “Puni” Daerah bagian barat Kalimantan itu tentulah termasuk pula daerah Sambas sebagai salah satu kerajaan tertua di Kalimantan. Kronik dinasti Ming (1360 – 1643) pun sama-sama menyebut Negara-negara di bagian barat Kalimantan (Pu-ni) yang mengirim dutanya ke istana Kaisar Cina untuk menunjukkan hormat dan takzimnya. Di dalam salah satu buku sejarah Serawak yang ditulis oleh Sanib Said, yang membagi Sejarah Serawak dalam tiga fase, yaitu “Ancient Sarawak Politico – Cultural Area (ASPA); The Old Sarawak (OS) dan The New Sarawak (NS)”. Wilayah Ancient Sarawak Politico – Cultural Area adalah fase sejarah politik dan budaya Sarawak lama atau Sarawak tu. Sanin Said memasukkan daerah mulai dari Sambas sampai dengan Bintulu sekarang. Sarawak Tua ini sekitar abad ke-13, sebelum kejayaan Kerajaan Brunei. 4. Hubungan Sambas dan Majapahit Dalam masa kejayaannya Kerajaan Majapahit telah menguasai seluruh wilayah Nusantara, termasuk Kerajaan Sambas di pulau Kalimantan. (Negara Kertagama, Pupuh XIII). Majapahit bukan hanya menguasai kerajaan dibawah takluknya, tetapi telah mengirimkan keturunan dan keluarga raja dengan prajuritnya. Mereka bukan hanya menguasai daerah dan rakyatnya, tetapi yang terpenting pula mengembangkan agama dan kebudayaan Hindu dan Budha. Namun tidak banyak peninggalan raja-raja dari agama Hindu di Sambas dan Kalimantan umumnya. Daerah in umumnya dengan rawa berlumpur dan tidak ada batu besar. Peninggalan sejarah zaman itu sulit di buat dan mudah hancur oleh air dan lumpur. Ada yang berpendapat bahwa arca Hindu dan Budha di Sambas dibuat dari emas. Buktinya di British Museum London terdapat 9 buah arca agama Hindu dan Budha berasal dari Sambas. Sambas dimasa sebelum Ratu Sepudak kurang dikenal, sejarahnya diliputi kabut kegelapan. Dari cerita rakyat yang bersifat legendaries yang dituturkan dari mulut terdapat bermacam-macam versi. Sebagaimana kerajaan-kerajaan Melayu/Islam pada umumnya, demikian pula kesultanan Sambas baru memulai sejarahnya pada permulaan berkembangnya agama Islam sejak akhir abat ke-16. Sebelum kedatangan prajurit Majapahit di Paloh, sudah ada Kerajaan Sambas Tua, diceritakan bahwa pada Akhir abad ke-13 menurut Dato’ Ronggo pada tahun 1291 di daerah Paloh terdapat sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang ratu (raja) bernama Raden Janur. Suatu malam kerajaan tersebut kejatuhan benda langit (tahi bintang, meteor) sebesar buah kelapa, yang bercahaya sangat terang. Terkenal dengan Mustika Bintang. Peristiwa aneh itu tersebar luas di seluruh Nusantara. Prabu Majapahit memerntahkan pasukannya untuk mendapatkan Mustika Bintang tersebut. Pasukan Majapahit mendarat di Pangkalan Jawi (Jawai). Raden Janur tidak bersedia menyerahkan Mustika Bintang, ia melarikan diri dan menghilang bersama Mustika Bintang, konin kabarnya ia menjadi orang kebenaran atau orang halus. Diceritakan bahwa pasukan Majapahit tersebut membaur dengan penduduk asli, akhirnya mereka membentuk sebuah kerajaan yang kuat, dengan ratunya berasal dari hasil pekawinan dengan penduduk setempat. Diceritakan bahwa pada suatu hri ratu dari kerajaan ini bertamasya ke pulau Lemukutan. Di pulau itu sayup-sayup terdengar kepada raja bunyi tangisan bayi. Seluruh rombongan di suruh mencari dimana datangnya suara tersebut. Akhirnya diketahui berasal dari sebatang rumput bambu. Bambu tersebut dipotong lalu dibawa pulang ke istana. Malamnya bambu tersebut yang dibelah ternyata pada salah satu ruasnya berisi seorang bayi laki-laki. Bayi tersebut yang dipelihara raja bersama anaknya kin hari tumbuh berkembang dengan sehat, namun sangat disayangkan ia hanya mempunyai gigi yang terdri dari sebuah saja, seperti gigi labi-labi. Karena itu ia diberi nama TANG NUNGGAL (hanya bergigi tunggal). Sewaktu Ratu meninggal. Tang Nunggal berambisi untuk menjadi raja, dengan mengandalkan kekuatan badannya dan kelicikannya. Ia berhasil menyingkirkan putera mahkota dan menobatkan dirinya menjadi raja. Tang Nunggal adalah raja yang kejam, bengis dan tidak berperikemanusiaan. Putera dan puterinya Bujang Nadi dan Dare Nandung dikuburkan hidup-hidup di Bukit Sebedang karena kedua bersaudara itu berniat kawin. Hokum karma berlaku pada dirinya, Tang Nunggal akhirnya meninggal dalam keadaan yang sangat menganaskan. Kini Putera Mahkota yang tersingkir yang berasal dari keturunan Majapahit muncul dan mengambil alih kendali pemerintahan. Raja itulah yang menurunkan raja-raja Sambas sampai kepada Ratu Sepudak. Setelah runtuhnya Majapahit, Sambas berada dibawah Kerajaan Johor. Pada masa Ratu Sepudak diadakan perjanjian dagang dengan Oppenkoopman Samuel Bloemaet dari VOC yang ditandatangani pada 1 Oktober 1609 di Kota Lama. (Perjanjian Ratu Sepudak dengan VOC) Kedatangan secara besar-besaran Prajurit Majapahit ke Sambas adalah pada masa Raja Cananegara. Prajurit Majapahit yang dibawa dengan kapal, tahun 1364 mendarat di Pangkalan Jawi. Kini daerah itu bernama Jawai. Prajurit Majapahit itu bukan berperang dan berkuasa, tapi membaur dan kawin dengan penduduk setempat. Percampuran dengan pendatang Majapahit itu yang mendorong berdirinya kekuasaan keturunan Raja Majapahit yang selanjutnya berpusat di Paloh. Mungkin karena terlalu banyak keturunan Majapahit berpindah ke daerah lain. Mereka juga masuk ke Brunei, Mempawah, Tanjungpura, Landak, Sanggau, Sintang, Sukadana dan kerajaan kecil di pedalaman Kalimantan Barat. Di pedalamannya banyak terdapat benda sejarah peninggalan kerajaaan Hindu Majapahit antara lain batu pahat di Sekadau, Eka Muka Lingga Guwa di Separuk, dan lain-lain. Pada pertengahan abad ke-15, pusat kerajaan keturunan Majapahit ini berpindah dari Paloh ke Kota Lama di Benua Bantanan – Tempapan di Kecamatan Teluk Keramat. Raja-raja di Sambas waktu itu disebut dengan gelar Ratu. Seperti gelar raja-raja di Majapahit. Ketika Raja Tang Nunggal berkuasa, ia pun membayar upeti kepada Raja Tumasik. Setelah pindah ke Kota Lama, Ratu Gipang tidak lagi membayar upeti kepada Raja Tumasik. Mungkin karena measa telah menjadi kerajaan merdeka, setelah menjadi kerajaan merdeka, seelah lepas dari Majapahit. Ratu Sepudak dengan saudaranya Timbung Paseban berkuasa sejak tahun 1550 di Kota Lam. Pada tahun 1570, kerajaan Sambas di Kota Lama berada dibawah kerajaan Johor. Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, maka kerajaan Johor telah menganut agama Islam, menguasai sultan-sultan di pantai barat Kalimantan seperti Brunei, Serawak, Sambas, Mempawah, Sukadana/Matan. Sejak itu agama Islam pun mulai dianut orang di kesultanan Sambas. Ratu Sepudak sebagai raja Sambas di Kota Lama adalah raja beragama Hindu terakhir di Kota Lama Sambas. Belanda (VOC) yang baru saja menguasai Batavia pada tahun 1596, pada tahun 1604 telah mengunjungi kerajaan Matan dan membuka hubungan dagang dengan Matan. Dari Matan, VOC mendapatkan informasi tentang kerajaan yang ada di pantai Barat Kalimantan. Tahun 1609, VOC datang ke Kota Lama Sambas. Mengetahui Sambas kaya dengan hasil hutan dan emas, VOC mengikat perjanjian dengan Ratu Sepudak. Dalam perjanjian tanggal 1 Oktober 1609 itu, wakil VOC Samuel Bloemaert sekaligus mengikat Kerajaan Landak dan Sukadana. Belanda paham benar karena Landak adalah penghasilan intan terkenal dan Samba serta Matan adalah pusat perjualan emas dan intan pada masa itu. Inilah awal dari perjanjian Belanda di Sambas, walaupun baru sejak tahun 1817 Belanda duduk dan berkuasa di Sambas. (Baca lampiran perjanjian VOC dan Sambas 1 Oktober 1609).
 

© 2009 Fresh Template. Powered by Blogger.

Template by Ifzanul.